
Lantunan ayat suci mulai terdengar dimasjid-masjid. Riuhnya menggiring isi kepala bernostalgia, menyusuri lorong waktu menuju masalalu ketika tubuh ini masih setinggi kentongan di musholla dekat rumah. Ramainya seperti ketika mas Saliman tadarusan menggunakan microphone musholla atau yang kami sebut “langgar”, higga suaranya terdengar keseluruh desa karena di sebarkan oleh TOA. Dibarengi dengan mas andi, mas iwan, almarhum mas Nur, mas Dar, Wahyu, mba Rohman, mba Firoh, Almarhum mba Elin, mba Sanah dengan dengung suara di belakang bacaan mas Saliman yang sedang membaca jatah juz yang telah di bagikan.
Aku juga teringat pada Panca, Yogi dan Mugi, bocah sepantaranku yang waktu itu sudah ikut tadarusan, yang bacaannya masih terbata-bata, yang sering merasa iri pada bacaan para senior karena sudah jelas dan cepat selesainya. Yang kadang kita tidak kuat ketika harus menghabiskan satu Juz sendirian, hingga akhirnya di bagi lagi jadi dua, atau tiga, bahkan jujur saja kadang kita bacanya dilompat-lompat agar cepat selesai karena tidak ingin didalam mushola sendirian sedangkan lainnya sudah duduk di teras depan sambil menikmati cemilan yang di sodakohkan para warga untuk kami yang tadarusan, haha, atau harapan paling terakhir, minta tolong untuk dilanjutkan oleh mas Saliman.
Riuhnya juga mengingatkanku pada waktu sebelum isya, setelah berbuka puasa. Aku dan mereka, teman-teman yang sekarang entah pada dimana, dulu berkumpul bersama, di perempatan jalan samping rel kereta, saling lempar petasan korek, berlarian, kejar-kejaran, hingga adzan isya tiba, lebih dari 40 bocah saat itu, membuat jalan selebar tiga meter dengan jarak 100 meter, yang kanan kirinya masih rimbun hutan dan lampu kuning yang redup itu depenuhi oleh kami yang berlarian, dan juga para warga yang akan ke langgar menjalankan sholat isya dan tarawih bersama.
Langgar selalu menjadi tempat yang asik, tempat berkumpul selama bulan puasa. Jajanan dari warga menjadi hal yang sangat dinantikan bahkan bukan hanya oleh kami yang tadarusan, tapi teman lain yang tidak ikut bacapun ikut menikmati suguhan, tertawa bersama melempar candaan, atau kadang bakar-bakar jika mas Munir dan temannya datang.
Waktu berlalu, langgar itu saat ini sepertinya sudah mulai sepi, anak-anaknya sudah tumbuh dan pergi dari tempat mereka tinggal dan belajar, berjalan menuju jalan hidupnya masing-masing, berhadapan dengan banyaknya takdir dan masalah kehidupan, yang beberapa dari mereka membuatnya tumbuh, dan beberapa lainnya hilang atau berpulang duluan.
Langgar meninggalkan memori yang takan bisa terlupakan. Terbawa oleh tiap kami pada ingatan masing-masing, kenangan saat belajar, kenangan saat dibentak karena tidak ngaji palah sibuk mainan, kenangan dimarahi oleh almarhum mbak Elin karena aku berpose seperti orang semedi saat belajar do’a qunut. Kenangan diomelin oleh mbak Rohmah karena palah bercanda soal Poin Blank dengan Mugi saat belajar Tajwid, Kenangan di lempar tasbih oleh Almarhum Mbah Kyai Rokiban atau Mas Muji karena bercanda saat dzikir, kenangan jalan-jalan mencuri mangga saat malam, kenangan canda tawa bersama mas Munir dan teman pondoknya saat bakar-bakar. kenangan yang oleh tiap kami akan dibawa mati, kemudian hilang dilupakan dan tak teringat lagi.
Langgar, aku rindu…