Ketika Introvert Nginjek Tahi Ayam

Setelah semalam tidur lebih awal, aku terbangun lebih pagi hari ini, jam 4:32. Meski sebenarnya tidak awal-awal banget, karena ketika merebahkan diri pada tempat tidur dan sebentar skroling medsos, mataku terjaga cukup lama karena isi kepala melanglang buana teringat lagu Sakura No Hanabiratachi dan beberapa member yang baru-baru ini melepas Kabesha. Mendapat pelajaran bahwa setiap hal memiliki masa dan akan pergi ketika waktu itu tiba, hingga menulis beberapa larik sajak perihal kekaguman yang selamanya menjadi kagum pada seseorang.

Setelah terbangun aku putuskan tidak langsung beranjak dari ranjang, melainkan menata bantal lebih mepet ke tembok sebagai ganjal ketika badanku kusenderkan padanya, sembari menuliskan beberapa hal di catatan handphone.

Setelah adzan subuh berkumandang, aku segera beranjak menuju kamar mandi, sedikit bersih-bersih, ambil air wudhu dan menuju ke masjid terdekat. Karena ketika keluar kamar masjid sudah Iqomah, akhirnya aku putuskan untuk mempercepat langkah agar tidak tertinggal roka’at pertama.

Ketika aku sampai di masjid, aku melakukan takbir pertama ketika Imam hampir selesai membaca surah At-Tariq. Setelah salam pada posisi tahiyat akhir, aku langsung mengambil kaki kanan untuk bersila. Namun ketika kaki kutarik kedalam, terasa ada sesuatu yang menempel dan saat kulihat ternyata itu adalah tahi ayam.

Seketika aku panik, karena aku membawa najis kedalam masjid, namun aku belum 100% yakin aku membawa najis, karena bisa jadi tahi ayam itu sudah ada disana sebelum aku datang.

Akhirnya karena aku panik, aku berjalan ke tempat wudhu masjid sembari berjinjit, dan meninggalkan potongan tahi ayam di shaf ketiga masjid itu.

Aku membersihkan kakiku dari tahi ayam itu, dan mencari tahu bagian mana saja yang terkena tahi ayam itu. Karena aku ingat ketika ngaji bab Toharoh di musholla dulu, bahwa sesuatu akan jadi najis ketika sumber najis itu meninggalkan rasa, bekas dan memiliki bau. Aku sendiri tidak tahu detilnya, namun karena itu pengetahuan yang aku miliki saat ini merujuk pada kitab Safinah, maka itu yang ku pegang.

Saat itu, sembari membersihkan kaki, aku merasa khawatir dan bingung,
apa yang harus aku lakukan?,
gimana kalo semua orang yang ada didalam masjid tahu ada kotoran ayam didalam masjid dan tahu kalo yang membawa itu aku.
Apa aku harus memberitahu orang masjid bahwa ada tahi ayam yang kuinjak didalamnya, atau aku pergi saja, toh kalo tidak ada yang tahu maka statusnya sah-sah saja sholat mereka?,
kalo masuk lagi, aku bakal malu banget, apalagi kalo banyak orang tahu
tapi apakah tindakan itu benar?

Akhirnya setelah aku merasa bingung sendirian di tempat wudhu masjid, aku putuskan untuk masuk lagi dan paling tidak mengambil potongan tahi ayam tadi dengan menahan rasa malu yang sangat. Tapi ketika aku sampai di shaf tadi, aku cari potongan itu tidak ada, dan sepertinya sudah terinjak oleh orang lain juga, tersisa sedikit, kemudian aku ambil dengan tangan kiri dan kubuang di got tempat wudhu masjid.

Dzikir besama masih berjalan, tersisia tahlil dan do’a, dan aku benar-benar bingung saat itu apa yang harus aku lakukan.

Akhirnya aku putuskan untuk pulang.
Namun selama di perjalanan, rasa bersalah masih menghantui, dan perasaan tidak tenang campur khawatir juga muncul bersamaan.

Ketika telah sampai didepan gerbang kosanku, aku tidak langsung masuk, tapi aku mematung didepannya dengan perasaan bingung,
Bagaimana kalo semua orang tahu?
Tapi bagaimana kalo ada orang lain yang menginjak juga?
Bagaimana kalo ada orang lain yang sholatnya jadi tidak sah karena tahi yang kubawa itu, sedangkan syarat sah solat adalah suci bada, pakaian dan tempat?
Tapi kalo aku kasih tahu ke dkm masjid, nanti bakal repot, mungkin aku bakal di suruh bersih-bersih masjid karena najis udah tersebar kemana-mana
Tapi kalo aku gak bilang, aku bakal ngerasa bersalah terus dan mungkin takut untuk datang ke masjid lagi

Ketakutan, dan kekhawatiran itu benar-benar mengerubungiku seperti sebuah lampu yang di kerubuti laron. Pertanyaan-pertanyaan itu pun terus bermunculan dan menumbuhkan perasaan bersalah dan takut yang semakin menjadi.

Akhirnya kudengar suara doa sudah selesai, kulihat orang sudah banyak yang keluar dari masjid, lalu kuputuskan untuk kembali ke masjid dan aku tekadkan dalam hati bahwa aku siap dengan segala konsekwensi. Aku siap jika harus menanggung malu, aku siap jika harus disuruh untuk membersihkan seluruh karpet masjid, aku siap untuk semua kemungkinan yang terjadi demi mempertanggung jawabkan perbuatanku dan menyembuhkan rasa salah dan khawatir yang mengerubungi hatiku.

Sesampainya di masjid, aku lihat DKM sedang mematikan lampu masjid, dan masih ada beberapa orang yang masih ber dzikir didalamnya. Lalu kudekati DKM dan bekata dengan lirih :

“pak maaf, tadi sepertinya ada yang nginjak najis”
karena mungkin terlalu lirih, DKM mendekatkan dirinya sembari memastikan apa yang aku katakan.

kemudian aku keraskan lagi suaraku
“tadi ada yang nginjak kotoran ayam pak”
“Siapa?” tanyanya
Karena aku merasa takut tapi juga nanggung, dengan rasa bersalah kujawab
“saya pak”

“sebelah mana dek,”
“di sekitar sini pak,” jawabku sembari mencari sisa-sisa najisnya.
“Oh yaudah gak papa, nanti di bersihin, seblah mana tadi?”
kemudian bapak itu pergi dan mengambil alat tatakan mengaji dan meletakannya di tempat najis itu tersisa.

“iya pak disitu, ini gak papa pak?” tanyaku memastikan apa yang beliau ucapkan.
“iya gak papa, nanti di bersihin”
“beneran pak ini gak papa?” tanyaku lagi dengan perasaan tidak yakin.
“Iya, nanti dibersihin”

Apa yang terjadi tenyata benar-benar diluar bayanganku, diluar kekhawatiran yang sebelumnya aku pikirkan, sangat berbeda dengan hal yang sebelumnya aku takutkan.

“Yaudah pak, makasih ya pak”
Akupun pulang dengan rasa lega karena sudah memberi tahu DKM itu. meski ada khawatir juga karena ternyata tahi ayam itu sudah ada yang menginjak juga karena hanya tersisa sedikit tadi.

Aku jadi teringat waktu masih kecil dulu. Salah satu imam musholla yang jaraknya lumayan jauh dari musholla, atau beberapa orang tua yang ku anggap ustadz di kampung, mereka selalu mencuci kaki ketika sampai di musholla, atau masjid ketika Jum’atan, padahal mereka sudah wudhu sebelumnya. Mungkin ini hal yang harus aku perhatikan kedepan.

Di sisi lain, aku jadi berfikir, bahwa kadang apa yang akan terjadi tidak benar-benar sama dengan yang kita pikirkan. Apa yang kita khawatirkan kadang tidak sama dengan kenyataan. Kadang itu hanya kekhawatiran kita saja yang berlebihan sehingga membuat kita jadi semakin takut akan masa depan, dan kemudian mempengaruhi diri kita dalam mengambil keputusan. Ketika kita kalah dengan rasa takut, pada akhirnya kita akan melepaskan kesempatan atau mengambil keputusan yang seharusnya tidak dilakukan. Namun ketika kita berani dan pasrah dengan segala kemungkinan yang akan Tuhan hadirkan, maka kita akan lebih tenang, dan akan mengambil keputusan yang lebih matang.

Aku sadar juga, bahwa kadang keputusan tidak harus diambil saat itu juga, kadang kita perlu untuk sebentar mundur menenangkan pikiran dan melihat keadaan dari sudut lebih longgar. Sehingga kita bisa lebih tenang dan jernih dalam mengambil keputusan.

Itu yang terjadi padaku ketika aku pulang dan mematung didepan gerbang kosan, mundur sejenak dari keramaian dan berfikir sendiri dengan perasaan sedikit lebih tenang, kemudian memberanikan diri untuk bertanggung jawab pada apa yang sudah dilakukan dan pasrah pada apapun yang akan terjadi pada masa depan.

Alhasil jika dilihat, aku sudah melakukan suatu tindakan yang tepat, ya meski mungkin telat karena tahi ayam itu sudah diinjak juga oleh orang lain dan tentu aku masih merasa bersalah karena hal itu, tapi setidaknya aku sudah melakukan hal yang benar dengan kembali ke masjid dan memberitahu DKM bahwa ada najis di masjid, yang kemudian bisa beliau bersihkan yang masih terlihat. Jika tidak, mungkin aku masih bimbang sampai sekarang, kepikiran, dan takut untuk berangkan ke masjid lagi, maybe.

#khawatir #introvert #cerita

1 thought on “Ketika Introvert Nginjek Tahi Ayam”

Comments are closed.

Scroll to Top