Dengan niat, kita bisa memaknai….

Aku tidak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Karena memang aku tidak punya kerangka dan tidak punya rencana untuk menulis ini sebelumnya. Yang ada hanyalah suatu perasaan yang tiba-tiba muncul karena prasangka pada seseorang hingga kemudian timbul rasa ingin membuktikan pada orang itu bahwa aku bisa jadi jauh lebih baik dalam segala hal dari orang itu.

Sangat tidak bijak memang perasaan seperti itu. Aku sendiripun menyadari. Karena menjadikan pergerakan kita didorong oleh apa ya, mungkin bisa di sebut kebencian, kepedihan, atau rasa sakit?

Sehingga itu yang menjadi motor untuk bisa bergerak maju dan menelan semua perih yang mungkin terjadi dalam proses hanya untuk akhirnya nanti membuktikan pada orang itu bahwa ini loh aku!.

Tapi kembali lagi, setelah di pikir, masuk dalam pembahasan judul diatas, bahwa ketika seperti itu niatnya dalam kita bergerak, yaitu untuk membuktikan pada orang lain saja, maka sungguh sangat di sayangkan semua kepedihan kita dan perjuangan yang dilakukan hanya di hadiahi sebuah pengakuan dari orang itu.

Itupun jika orang itu mengakui, jika tidak, maka akan tetap merasa perih dan rugi juga karena niatnya hanya untuk sesuatu yang sementara dan fana.

Maka kupikir, akan menjadi sangat lebih baik jika aku meniatkan sesuatu itu untuk sesuatu yang lebih abadi dan menghasilkan bukan hanya untuk hal yang sebentar didunia ini, melainkan yang efeknya kekal selama-lamanya, yaitu meniatkan untuk Tuhan, untuk Allah, dengan meniatkan bahwa “aku berjuang melakukan semua ini karena Allah memerintahkah aku untuk berikhtiar dan mengusahakan apa yang aku inginkan.

Namun pertanyaan selanjutnya adalah, apakah boleh meniatkan seperti itu dengan tenaga kepedihan dan rasa sakit yang sebelumnya kita dapat dalam hidup ini?

Sebenarnya, kepedihan atau rasa sakit adalah perasaan yang kita rasakan, namun bukan karena perasaan itu kita bertindak, tapi karena pemaknaan apa yang kita sematkan pada perasaan-perasaan yang timbul itulah kita akan bertindak.

Suatu ketika di zaman Rosul, seorang sahabat bernama Bilal bin Rabbah pernah di siksa oleh orang-oran kafir quraisy karena keberimanannya pada Islam. Kalo tidak salah di kisahkan tubuhnya di telentangkan kemudian perutnya di timpa batu yang besar sampai dia kesakitan. Tujuannya adalah agar bilal tidak jadi meng imani Islam dan kembali pada kepercayaan sebelumnya yang sama dengan orang-orang kafir quraisy. Secara pengalaman, Bilal benar-benar kesakitan. Namun rasa sakit tidak mendorongnya untuk mengikuti kemauan orang kafir. Rasa sakit tidak mengendalikan tindakannya. Namun pemaknaan pada rasa sakit itulah yang menjadi Supir atas tindakannya.

Dia memaknai rasa sakit yang diterimanya sebagai ujian atas keimanannya, sehingga karena dia memaknai bahwa dia sedang di uji karena keimanannya, maka dia mengambil tindakan untuk tetap bertahan pada keyakinannya agar bisa lolos ujian.

Pemaknaan kita terhadap apapun yang datang, akan ber efek pada tindakan apa yang akan kita lakukan.

Kepedihan yang dirasakan akibat hinaan dari orang lain, ataupun rasa sakit akibat di kecewakan oleh orang lain, akan menimbulkan sikap yang berbeda dari masing-masing orang, tergantung pada bagaimana dia memaknai kejadian itu.

Untuk beberapa orang, mungkin akan langsung tumbuh kebencian di hatinya dan juga dendam, hingga kemudian gelap mata dan mengambil tindakan diluar nalar seperti mengirim santet atau teluh pada orang yang menghinanya. Namun beberapa orang lain, mungkin mereka akan bersabar karena mereka memaknainya berbeda dari orang sebelumnya.

Pemaknaan kita terhadap apapun yang datang dalah jembatan untuk kita bisa sampai pada apa yang kita niatkan

Jika kita memaknai sesuatu itu adalah kebaikan, maka kita akan sampai pada kebaikan, pikiran dan respon kita pun adalah kebaikan, dan ujungnya nanti adalah kebaikan.

Namun jika kita memaknai sesuatu yang datang itu adalah keburukan, maka pikiran dan respon kita akan memunculkan sesuatu yang buruk atau setidaknya kurang baik, dan ujungnyapun bisa jadi buruk.

Sesimpel ketika kamu jalan kemudian kakimu tersandung batu, atau tanganmu terjepit pintu. Ketika kamu menganggapnya keburukan, kamu akan meresponnya dengan marah, kesal, ataupun mengumpat, mungkin yang paling parah kamu bakal nginjek batu itu atau nendang pintu itu. Tapi ketika kamu memaknai bahwa mungkin itu adalah penebus kesalahan karena mungkin tangan atau kaki itu sudah melakukan suatu keburukan, atau menganggap itu adalah suatu cobaan yang nanti akan diganti dengan keberhasilan di tangan atau kaki yang nantinya akan menginjak tempat yang di impikan, maka pikiranmu akan tenang, responmu akan tenang dan sabar, dan mungkin palah kamu bisa tersenyum sendiri karena kejadian yang menyakitkan itu.

Jadi, ketika kita berhasil memperbaiki pemaknaan kita pada sesuatu yang datang pada hidup kita, maka keadaan kita tidak akan sampai pada pertanyaan sebelumnya di atas, yang meniatkan sesuatu karena didorong kepedihan. Karena sebelum kepedihan itu terjadi, kita sudah meniatkannya terlebih dahulu untuk kebaikan, sehingga ketika kepedihan itu datang, dan kita memaknainya sebagai kebaikan (dengan berbagai narasinya), maka yang ada adalah membuat kita semakin merasa sekat pada apa yang kita niatkan. Pandangan rendah orang lain tidak akan mengubah pikiran dan sikap kita, karena kita telah memaknai itu sebagai pendekat pada tujuan kita.

mungkin bersambung….

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top